Selamat Datang Pembaca

Tentang Mimpi dan Berbagi

15/12/11

Sebuah Prolog: Tentang Kehilangan

Aku tak pernah tahu bahwa kamu sangat berharga, sampai akhirnya kamu memutuskan untuk pergi dari kehidupanku. Aku kehilanganmu jauh lebih menyakitkan dari apa yang bisa ku bayangkan dulu, saat kamu masih disisiku. Mengapa kesadaran selalu datang terlambat? Mengapa perasaan saling memiliki harus datang setelah semua pergi? Mengapa? Tapi kini pertanyaan itu  tak penting lagi. Apapun itu, aku tahu kamu pasti punya cukup alasan untuk menjauh dariku.
Ada yang ku sesali dari kebersamaan ini, adalah sebuah sikap ego yang tak pernah mengacuhkanmu. Betapa aku sangat egois, betapa aku sudah bertindak tidak fair atas perasaan kita. Entah ini masih berguna atau tidak, tapi biarkan aku mengurai kata maaf.
Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat berterima kasih atas semuanya. Terima kasih atas keyakinan yang kamu berikan, bahwa akupun layak dicintai. Bersama kamu, aku merasa berharga. Aku merasa berarti dan dibutuhkan. Sebuah perasaan yang kadang selalu ku inginkan orang-orang rasakan padaku. Ternyata kamu orangnya yang bisa membuat aku merasa bahwa aku memiliki satu alasan lagi untuk terus bangkit saat aku jatuh.
Lama sudah aku lelah menjadi alang-alang, menjadi bayang-bayang atas kebahagiaan orang lain. Lelah rasanya menjadi piguran dalam panggung ini. Tetapi kamu, baru aku sadari, telah sejak awal menempatkan aku sebagai mawar.  Menganggap keberadaanku meski aku tak sehangat mentari, tak sesejuk embun dan tak seindah lengkung pelangi.
Kini, aku tak lebih dari ranting yang rapuh. Tinggal menunggu waktu untuk patah dan berkeping jatuh ke tanah. Penuh pretensi. Kehilangan kamu telah membuatku terjebak dalam labirin perasaan yang kompleks. Semuanya semakin rumit untuk aku sampaikan padamu.
Sering aku bertanya, adakah waktu kembali seperti dulu. Tetapi, sehari dua hari aku mulai sadar bahwa perubahan tak pernah kembali ke garis awal. Aku harus kembali berusaha untuk bangkit tanpa sandaran yang kadang ku butuhkan saat aku lelah melakukan semuanya sendiri. Aku harus kembali membiasakan diri untuk berbicara meski tak ada telinga yang mendengarkan.
Menyadari bahwa aku harus kembali menelan semuanya sendiri adalah  sangat ku takutkan.
Tanpa kamu, aku bukanlah ada. 

Tidak ada komentar: