Selamat Datang Pembaca

Tentang Mimpi dan Berbagi

27/10/11

Catatan Emosi Jiwa (Baca: Curhat) 27/10/11

Pagi itu aku terbangun dengan hati seringan awan. Setelah beberapa hari merasa takut membuka mata dan merasakan hangatnya sinar sang mentari, hari ini aku merasa menjadi terlahir kembali, tanpa beban, tanpa gelisah yang menggelayuti hati. Ku dengar ceracau teman-teman asramaku di luar, pagi-pagi seperti ini memang selalu ramai. Ada yang sibuk mempersiapkan menu sarapan pagi, ada yang berteriak-teriak piket, namun ada pula yang tenang menikmati segelas susu atau teh hangat. "Selamat Pagi Dunia..!" itulah yang selalu aku ucapkan saat membuka pintu kamar. Sebuah ungkapan rasa syukur dan awal untuk memulai hari.
Aah..suasana asrama seperti ini belakangan jarang sering kali ku rasakan. Beberapa waktu kemarin aku memang 'kabur'. Memilih menenangkan diri di rumah dibanding tertekan dengan suasana di asrama. Sebenarnya tak ada yang salah dengan Asramaku, hanya saja karena sebuah hal aku merasa perlu mencari suaka, dan tahukah kamu? rumah adalah suaka terbaik di dunia ini. Rumah adalah tempat kembali setelah kita letih berpetualang. Lama aku berpikir, aku tak mungkin terus menghindar, aku harus bisa bertahan bahkan dalam kondisi yang tak mengenakan sekalipun. Maka, aku kembali ke asrama, kembali pada kehangatan teman-teman (meski sebenarnya tak sehangat dulu). :(
Hari ini, Kamis 27 Oktober. Beritaku terbit!
Ya, sudah hampir lima bulan ini aku nyambi di Studenta Jurnal Bogor. Rutin, setiap sekali dalam seminggu aku mengirimkan berita. Awalnya aku berhasrat menjadi seorang jurnalis, namun seiring berjalannya waktu aku merasa jurnalistik bukan orientasi minat menulisku. Aku ingin menjadi seorang penulis, mungkin bekerja di sebuah penerbitan, bukan bekerja dibawah tekanan deadline semacam ini. Aku betah bergabung di Studenta, meski tak dapat ku elak rasanya aku lelah. Awal-awal ketergabungan dengan 'komunitas' (maaf bila istilahnya kurang tepat, tapi aku tak menemukan kata yang pas selain itu), aku merasa nyaman, aku semangat mencari berita setiap minggunya. Tapi akhirnya jenuh pun menyapa tak diduga. Banyak yang sudah berubah, studenta berubah dan aku kaget beradaptasi dengan perubahan itu.
Sering aku berpikir tentang eksistensiku di Studenta. Sering terbersit pertanyaan, layakkah sebenarnya tulisanku di muat di halaman Jurnal Bogor? Apa keberadaanku di Studenta hanya untuk sekedar memenuhi bangku kosong karena ditinggal senior, atau memang aku pantas duduk di sana?? Sempat terpikir olehku untuk resign, toh ku pikir ada atau tidak adanya aku di sana, Studenta akan tetap terbit setiap Kamis meski hanya diasuh oleh tiga kepala. Tapi sesuatu menahanku. Sesuatu: 'aku bukan pecundang, aku akan menyelesaikan tugasku sampai akhir. Aku turut bertanggung jawab atas setiap halaman Studenta yang terbit'. Pikiran itulah yang membuatku bertahan. Lagipula, bila aku memilih keluar, maka aku sendirilah yang rugi. Alih-alih berpikir, aku semakin tertantang untuk terus memperbaiki teknik penulisan beritaku.
Pukul 09.15, aku memutuskan untuk pergi ke perpus. Aku ingin melihat halaman Studenta. Semalam aku tak ikut piket Layout halaman. Perasaan bersalah mendorongku semakin kuat untuk melihat hasil kerja aku dan teman-temanku mencari berita. Jaang, tulisanku muncul menjadi berita Headline. Meski ada perubahan pada judul dan Lead, tapi secara keseluruhan itu adalah tulisanku. Anehnya perasaanku datar, dimuatnya beritaku tak membuatku cukup puas. Aku butuh sebuah pembuktian dan pengakuan lebih atas kecintaanku dalam menulis. Hasrat itu lebih ku tujukan pada diriku sendiri. Aah, jalanku terjal sekali untuk memperoleh pengakuan dari semua mata bahwa aku adalah penulis. Tapi aku belum mau menyerah. Setidaknya bila sampai penghujung waktu nanti panggilan penulis tak juga menyertai namaku, tapi menulis adalah jembatan yang menghubungkan aku dengan sang mimpi.
Di sini, di dalam hati ini ada banyak pergumulan yang selalu menghantui langkah-langkahku. Tentang pilihan karir, tentang bidang yang kini aku geluti. Keduanya seolah bersebrangan dan berkali-kali aku coba hubungkan tetap saja terputus di tengah jalan. Pendeknya, rasa cinta pada bidang yang kini tengah aku geluti belum juga terbit. Kadang aku berpikir, akankah rasa cinta itu terbit bila aku memilih jalur pendidikan pada bidang sastra Indonesia mengingat profesi -yang entah mengapa- sangat aku inginkan adalah seorang penulis.
Penulis. Silakan mengerutkan dahi saat mengetahui keinginanku itu. Akupun sering bertanya, mungkinkah penulis dijadikan profesi tunggal? mengingat saat ini para penulispun tak ada -mungkin- yang benar-benar menggantungkan hidup sepenuhnya dari menulis. Ada yang nyambi menjadi dosen, editor majalah, konsultan, penyanyi bahkan dll. Hal ini yang terkadang membuat aku merasa tidak realistis, meski pembuktian demi pembuktian ingin sekali aku tunjukkan. Aku bisa hidup dengan menulis. Aku ingin menjadi penulis.
Lupakan sebentar dengan dilema pilihan karirku itu. Pada akhirnya, aku hanya ingin sebuah kehidupan yang lebih baik. Berprofesi apapun aku nantinya, semoga tak pernah terpikir olehku untuk berhenti menulis. Apapun, meski hanya tulisan berisi emosi jiwa (baca: curhat) seperti ini.
NB:Bagiku menulis adalah sahabat saat aku merasa tak ada orang yang mau mendengar aku.
**
Masih di Perpus. Tiba-tiba sosok itu muncul dihadapanku. Tahukah bahwa jantungku tiba-tiba saja berdegup lebih cepat dibanding keadaan normal?? Dulu, aku pernah begitu dekat dengannya, tetapi lain dulu lain sekarang. Kini dia sudah bertransformasi menjadi porselen yang tak bisa aku sentuh. Dia membangun dinding raksasa diantara kami yang membuatku tak bisa menembusnya. Ada gunung es besar yang menjadikan ruang antara kami tampak dingin dan bisu. Aku tak bisa berbuat apapun. Keberanianku melumer, tak berkutik, tanpa daya, setiap kali dihadapannya. Aku hanya bisa berharap semoga tak ada kebencian darinya untukku meski dia memilih menutup segala akses tentangku dalam hidupnya.
Hidup itu sejati adalah perubahan. Maka, terimalah bila satu per satu orang yang ku kira sahabat mulai menjaga jarak dariku, itulah kalimat yang selalu aku rapal. Sesungguhnya aku tak hanya kangen sosok itu. Tapi aku juga rindu geng teletubbies (mengutip perkataan seseorang). Aku rindu berbagi tawa dengan mereka. Tahukah, bahwa di lingkup kampus ini, merekalah penghangat kalbuku? Tapi semuanya sudah berubah. Waktu semakin besar membentangkan jarak antara kami. Semua sudah memiliki kehidupan masing-masing. Yahh, mungkin dalam sebait do'a persahabatan kami masih ada, tapi apalah artinya bila fisik tak bersinggungan sebagai perekat hati? teman-temanku, aku rindu kalian. Pernahkah kalian terbersit rindu melihat tingkah bodohku??
Sekarang aku sendiri dan terus berusaha selalu menyandarkan diri pada Sang Rabbi. Tapi akupun sungguh rindu kebersamaan itu. Kebersamaan yang selalu menjadi pengobat saat aku lelah melakukan semuanya sendiri. Kapan kita tertawa bersama lagi, berjalan menyusuri kawasan Bogor (meski aku tahu itu kurang baik, tapi aku lebih ingin dia bersikap ramah lagi)? Aku merasa bersalah dengan perubahan sikapnya. Teletubbies, kapan kita makan rujak bareng lagi di depan masjid dengan wajah menggelikan di depan kamera?
ku tutup emosi jiwa (baca: curhat) ini dengan sebuah kalimat.
"aku ingin menjadi tetes-tetes hujan, karena air tak pernah merasa kehilangan"

Aku tak berharap kalian membaca ini, aku hanya berharap kalian (orang-orang yang ku kira spesial dalam hatiku) tahu betapa rindunya aku dengan kebersamaan kita.

22/10/11

Jelang Hari Bahagia

Hari ini, satu hari menjelang milad saya. Dua puluh dua Oktober 2011.
Ada banyak perasaan yang kini tengah bergumul dalam batin saya. Sesuatu yang telah lama terkubur, satu per satu mulai muncul terkorek lagi.
Mereka berdatangan di bulan Oktober ini, sekedar menanyakan kabar saya. Semua sudah banyak berubah, termasuk saya sendiri.
Senang rasanya sebentar berkomunikasi dengan masa lalu, saya sudah mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Semoga tak ada luka yang masih tersisa.

Saat ini, saya hanya ingin hari esok yang lebih cerah. Bukan selalu menangisi gelap semalam. Saya tak mau, setahun dua tahun, terus-menerus memikirkan nama yang sama. Maka, meluruhlah semuanya. Biarkan saya menyandarkan hati ini pada diri saya sendiri, bergantung kepada Sang Rabb yang saya pastikan tak pernah berhenti menyayangi saya.

Terimakasih atas sesimpul senyum yang telah dibagi, atas secercah luka yang tak sengaja tertoreh. Semuanya mengajarkan saya banyak hal.

Hari ini, saya lepaskan kalian semua..
Terbanglah, pilihlah apa yang ingin kalian pilih untuk kehidupan kalian..
Biarlah bila kalian memilih pergi dengan meninggalkan sejuta tanya, biarlah pula bila kalian memilih hilang tanpa seucap salam dan biarlah bila saya tetap memilih untuk bertahan di sini dan kembali menata hati..

nice to meet you for all.

Met Milad tetes hujan,
barakallah.
engkaulah tetesan air yang tak pernah merasa kehilangan.