Selamat Datang Pembaca

Tentang Mimpi dan Berbagi

08/11/11

Perempuan yang Menanti

Setiap pagi, setiap hari, aku selalu duduk di teras rumah, menunggumu. Pagi itu, pukul 05.00, seperti biasa aku selalu dibangunkan oleh Ibu. Beliau mengajakku untuk shalat shubuh bersama, setelah itu Ibu akan segera membereskan rumah, sedangkan aku kembali ke kamar, merapikan diri sebelum bersiap untuk menunggu waktu kehadiranmu. Ku buka lemari baju, ku ambil gaun putih yang dua bulan lalu kita beli bersama. Hati-hati ku kenakan gaun tersebut dan oh, gaun ini semakin longgar di tubuhku. Sepertinya aku telah cukup lama menunggumu sampai kehilangan banyak bobot tubuh. Semoga kau tak jadi kecewa karena aku semakin kurus.
Tepat 07.30, aku keluar kamar mengenakan gaun putih lengkap dengan bunga di tanganku. Aku sedikit kecewa karena ibu mengganti bunga mawar putihku dengan bunga lili plastik yang dibelinya di supermarket beberapa hari yang lalu. Sayang, aku pun tak pandai menyanggul, sehingga rambut panjangku harus ku biarkan terurai begitu saja. Ku lihat Ibu sedang sibuk mempersiapkan sarapan di dapur. Suasana rumahku sepi, aku adalah anak tunggal dari seorang single parent. Ayahku telah meninggal saat aku masih duduk di kelas dua SD. Mantap aku melangkah ke luar rumah. Ku pegang handle pintu kemudian menariknya dan byar, mentari pagi langsung menyambutku dengan sinarnya yang hangat. “Selamat pagi dunia..” ucapku pelan, lebih pada diriku sendiri. Perlahan aku pun duduk di salah satu kursi yang terbuat dari anyaman bambu di teras rumahku.
Aku siap menunggumu hari ini, sesiap hari-hari kemarin yang sudah ku lewati. Aku selalu menunggu di sini, setiap hari, dengan pakaian yang sama, di waktu yang sama, di kursi yang sama. Seperti hari itu. Dua minggu yang lalu. Berkali-kali ku lirik jam yang melingkar di tangan kiriku, ku cek kembali handphone yang sedari tadi erat ku genggam, aku nyaris pingsan saking gelisahnya. Sudah satu jam terlambat, aku sudah tak sabar untuk menunggumu. Aku berjalan mondar-mandir sambil sesekali melirik ke arah jalan, tapi belum ada tanda-tanda kamu dan rombonganmu tiba. Ibu menghampiriku, memelukku yang luar biasa gelisah. “Dia pasti datang, sayang! Dia pasti terjebak kemacetan..!” ucapnya tepat ditelingaku. Aku mengangguk, meyakini bahwa perkataan ibu adalah benar. Bahwa kau hanya terjebak kemacetan, bahwa dalam beberapa menit lagi kau pasti datang. Ku tekan sebuah nomor di ponselku untuk memastikan keberadaanmu dan shit, aku tersambung ke mailbox. Aku semakin gelisah, tanganku mulai gemetar tanpa sebab. Aku menatap ibu seolah meminta ketenangan. Ibu lagi-lagi menggenggam tanganku, “pasti seharian kemarin dia mempersiapkan segala yang terbaik untukmu sampai dia lupa untuk mengcharge hpnya..” tutur ibuku lagi sambil tersenyum.
Ibu kemudian menuntunku masuk ke dalam rumah, di ruang tamu seluruh anggota keluargaku telah menunggu. Sama sepertiku, merekapun tampak gelisah menunggumu. Berbagai pernak-pernik yang bertebaran di ruangan itu semakin membuatku tak karuan. Tiba-tiba seorang lelaki menyeruak masuk ke rumahku dengan terengah-engah dan tanpa tedeng aling-aling ia langsung berteriak tepat di depanku, tepat di sekeliling anggota keluargaku. “Bisma kecelakaan, mobilnya jatuh ke jurang..!” Seketika aku merasa sekelilingku tampak memudar, perlahan hitam mulai memenuhi penglihatanku, lalu menjadi gelap dan aku pun tak sadarkan diri.
Ah, aku tahu itu semua kebohongan. Aku tak pernah melihat jasadmu yang terbujur kaku. Aku percaya, hari itu kau hanya kecelakaan biasa, kau hanya perlu beristirahat sebentar. Tapi ini sudah dua minggu, separah apakah lukamu sampai di waktu yang selama ini kau belum juga sembuh dan datang menemuiku?? Tapi aku tak akan lagi gelisah, aku tak akan membiarkan seseorang mempermainkan aku dengan lelucon kematianmu lagi. Aku akan duduk manis dan terus menunggumu, karena aku yakin sebentar lagi kau pasti muncul dari balik pagar rumahku. Aku melirik jam tangan yang sama dengan yang ku kenakan saat berita bohong itu sampai ke telingaku. Sudah satu jam aku menunggumu, tapi sepertinya kau belum bisa datang. Kecelakaan itu ternyata membuatmu harus beristirahat lebih banyak dari yang ku perkirakan. Sebuah tangan kemudian menyentuh pundakku. Aku mendongak, tampak Ibu tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
“Asha, sudah nak! Kita masuk ya, udara masih cukup dingin! Gak baik buat kamu, yuk..” ajak Ibu.
“Asha gak apa-apa kok, Asha masih mau nunggu Bisma..!” jawabku tanpa memandang Ibu.
“Asha..!” lirih Ibu seraya merangkulku erat. Airmatanya merembes, aku bingung mengapa Ibu tiba-tiba menangis dan aku tak tahu harus berbuat apa.
“Ibu..Ibu kenapa?” tanyaku mencoba melepaskan diri dari rangkulannya.
Ibu mengusap airmatanya, “Kita masuk yuk, kamu belum sarapan!” lanjut Ibu sambil menarik tanganku sedikit memaksa. Aku menahan diri.
“Tapi..”
“Selesai makan, kamu istirahat! Nanti kalau Bisma udah datang, Ibu kasih tahu kamu, ya?” bujuk Ibu lagi.
Aku menatap Ibu dengan mata berbinar. “Bener, Bu? Yaudah kalau gitu, Asha makan, udah gitu istirahat. Sebenernya Asha juga cape, Bu, tapi Asha gak mau kalo nanti Bisma dateng Asha malah gak ada. Makanya Asha bela-belain nunggu, hemm..” kataku sambil masih dituntun Ibu. Tapi kemudian Ibu menghentikan langkahnya. Berbalik menatapku lekat.
“Asha, sampai kapan kamu bohongi diri kamu sendiri..!” ucap Ibu pelan nyaris tak terdengar. Mendengar itu, aku tak terima. Emosiku tiba-tiba saja meninggi.
“Ibu, kenapa sih?! Ada yang salah? Ibu sendiri yang bilang bahwa Bisma akan datang dan Asha percaya bahwa Bisma pasti datang. Ibu jangan ikut-ikutan mengarang cerita bahwa Bisma udah mati..!” teriakku.
“Asha, tapi kenyataannya Bisma gak akan pernah datang sayang! Ibu mohon, terima nak, ikhlaskan..!” Ibu memelukku erat. Entah mengapa pelukan Ibu terasa seolah cengkeraman yang menyakitkan. Aku mencoba melepaskan diri.
“Bisma belum mati. Selama Asha gak lihat jasadnya berarti Bisma masih hidup. Dia selalu ada buat Asha. Dia pasti datang, dia pasti datang..! Semuanya bohong, Ibu bohong, mereka bohong! Bisma gak akan meninggalkan Asha sendiri, dia pasti datang, pasti!” teriakku makin menjadi sambil terus berusaha melepaskan diri. Tetapi aku masih terlalu lemah untuk melawan kekuatan tangan Ibu. Lelah, akhirnya aku menyerah dan bersimpuh di lantai. Ibu masih memelukku erat dengan tangisnya yang membuncah.
“Dia pasti datang..!” lirihku dengan suara yang hampir habis.
“Iya, iya Bisma pasti datang! Sekarang Ibu antar kamu ke kamar ya..!” kembali Ibu membujuk dengan suara sesenggukkan.
Aku mengangguk.
Akhirnya Ibu membopongku ke kamar. Ibu menidurkan aku di tempat tidur yang juga masih sama seperti dua minggu yang lalu. Sebelum pergi Ibu mengecup keningku lama lalu bergegas meninggalkan kamar. Tubuhku masih letih. Kondisiku memang tak sebaik biasanya. Dua minggu terakhir kesehatanku menurun drastis dan yang paling aku takutkan adalah Bisma. Dia adalah orang yang paling mencemaskan aku bila kesehatanku terganggu. Dia adalah yang paling cerewet masalah makan dan tidurku. Bisma. Sudah dua minggu kau pun tak menghubungiku. Pokoknya, bila kau datang nanti, akan ku marahi, pikirku.
Pelan-pelan, aku mencoba bangkit dari tempat tidurku. Ku pandang wajahku lekat-lekat di cermin. Gaun ini, sekalipun belum pernah kau melihatnya. Kau pernah bilang bahwa aku pasti akan sangat terlihat cantik mengenakan gaun ini dan aku sangat ingin kau melihatnya. Tapi mungkin tidak hari ini. Besok kau pasti datang bukan? Atau mungkin lusa? Kapanpun, aku yakin kau pasti datang. Perlahan ku lepas gaun berwarna putih itu dan berganti pakaian tidur. Ku gantung kembali di lemari untuk ku kenakan lagi besok. Ku rebahkan kembali tubuh ringkihku di ranjang, lalu ku pejamkan mata. “Telah lama aku menunggu. Biarkan mataku terpejam agar aku bisa melihatmu. Maafkan aku, Allah..” gumamku dalam hati. Perlahan sepertinya lelahku melebur, tubuhku serasa ringan terangkat. Aku melayang. Bila kau tak pernah datang, maka biarkan aku yang menemuimu.

Tidak ada komentar: