Selamat Datang Pembaca

Tentang Mimpi dan Berbagi

08/11/11

Karena Air Tak Pernah Merasa Kehilangan


Pagi itu, mentari tak menampakkan sinarnya. Sejak dinihari hujan telah mengguyur bumi, melenakan manusia untuk tetap terjaga dalam mimpinya dari balik selimut. Seorang gadis duduk termangu dari balik jendela kamarnya, menatap derasnya sang hujan dengan perasaan kosong. Sesekali tetes-tetes air jatuh menerpa kaca kamar karena hujan disertai angin yang cukup kencang. Sigap ia segera menempelkan telunjuk pada tetes air tersebut. Perlahan jarinya mengikuti gerak tetes air, lamban, sampai perjalanan air itu akhirnya membentur sisian kayu jendela.
Samar-samar gadis tersebut mendengar suara seorang wanita memanggilnya dari balik pintu. Sekilas ia menatap pintu kamarnya yang tidak membuka sejak kemarin siang. Ada perasaan takut yang menjalari gadis tersebut bila ia memutar kenop pintunya. Dia tak akan berani menerima apapun yang terjadi di balik pintu itu. Di luar sana, ada banyak hal yang berubah dan ia tak punya cukup kekuatan untuk menghadapinya. Gadis itu kembali mengalihkan pandangannya ke jendela, tetapi suara dibalik pintu itu belum juga hilang. Malah semakin mengeras diikuti ketukan bertubi.
“Tira..! Tira..buka pintunya sayang! Kamu harus makan, seharian kemarin kamu mengurung diri di kamar, Ibu khawatir! Kita sarapan, Ibu udah buatkan nasi goreng kesukaan kamu. Setelah itu, Ibu antar kamu ke sekolah sebelum berangkat ke kantor. Ok?”
Tira tak sepenuhnya mendengar perkataan Ibunya, tapi telinganya menangkap jelas suara Ibunya parau menahan emosi dan tangis.
“Tira..sejak kapan kamu gak dengar perkataan Ibu? Kamu mau Ibu berdiri terus di sini, begitu? Baiklah Ibu tunggu sampai kamu mau buka pintu..!” teriak Ibunya lagi.
Tira menoleh, kembali menatap pintu kamarnya, lama. Jangan lakukan hal yang bodoh, Bu, gumam Tira dalam hati. Hening.
“Tira..” panggil Ibu kembali. Tira mendesah, ia beringsut dari tempatnya duduk. Berjalan perlahan. Dari balik pintunya, Tira belum berniat memegang handle pintu kamarnya.
“Tira gak ingin keluar..! Pergilah kerja, setelah itu urus perceraianmu dengan laki-laki itu..” ujar Tira datar tanpa emosi.
Ibu terkesiap mendengar perkataan Tira, “sejak kapan kamu memanggil kedua orang tuamu dengan panggilan asing seperti itu?”tanya Ibu.
“Tapi orangtua tak pernah mengabaikan perasaan anaknya..” bantah Tira dengan suara bergetar.
“Ibu mohon sayang, buka pintunya! Kamu sudah cukup besar untuk belajar berlapang dada menerima semua keputusan orang-orang yang kamu sayangi..!” pinta sang Ibu.
Satu tetes bening tiba-tiba mengalir di pipi Tira mendengar perkataan Ibunya, tangannya cepat mengusap. Namun, satu tetes kembali menitik, Tira kembali mengusap. Lagi jatuh, kini semakin deras dan Tira tak mampu lagi mengusapnya. Tira akhirnya memutar kenop pintunya, ia tak bisa lagi bertahan. Dilihatnya sang ibu yang terduduk lesu. Tak lama Ibu bangkit menatap anak gadisnya satu-satunya.
“Tapi Tira gak pernah merasa belajar untuk kehilangan..!” ujar Tira dengan tangis menjadi-jadi. Seketika Ibu langsung mendekap Tira erat. Tak kuasa Ibu menahan tangisannya.
“Maafkan Ibu sayang..!” bisiknya tepat di telinga Tira.
Pukul 15.00 bel tanda pulang bergema ke setiap sudut SMP Nusa Pertiwi. Pak Ginting mengakhiri pelajaran biologi dengan setumpuk tugas. Setelah berdo’a dan menggucap salam, para siswa pun berhamburan pulang. Tira merapikan buku pelajaran dengan perasaan malas. Bila boleh, ia tak ingin dulu jam pelajaran berakhir. Bila boleh, ia tak ingin pulang ke rumah. Rumah, bagi Tira kini hanya sebuah tempat yang selalu memaksa air matanya mengalir. Rumah, kini telah menjadikannya sosok yang cengeng. Rumah, kini berubah menjadi hal yang akan merenggut kebahagiaannya. Bahkan lebih cepat dari yang bisa ia perkirakan.
“Ibu akan pastikan bahwa tidak ada yang berubah meski orangtuamu bercerai. Kamu percaya pada Ibu kan?”. Perkataan Ibu saat mengantar sekolah tadi pagi kembali terngiang-ngiang di telinga Tira. Entah mengapa, janji sang Ibu tak lantas membuat Tira menerima begitu saja perceraian orangtuanya. Mungkin memang bisa saja tak ada yang berubah, tapi tetap saja dirinya menjadi tak utuh. Seharusnya Ibu dan Ayahnya tahu, kebahagiaan terbesar bagi seorang anak adalah keutuhan keluarga dan keharmonisan orangtua. Tira mendesah, dialihkannya pandangannya ke luar. Rintik hujan kembali menemaninya. Sehari ini hujan memang tak berhenti-henti membasahi semesta seolah ia tahu bahwa Tira tengah bersedih dan ingin turut menemaninya menangis. Jahat sekali, pikir Tira. Tak berapa lama, Tira pun bangkit. Ia berjalan gontai menyusuri koridor sekolah yang memang sudah lengang. Jauh di depan, ia melihat sesosok laki-laki tengah berjalan ke arahnya. Tira menghentikan langkahnya, memperhatikan sosok yang mendekat itu.
“Ibumu memintaku untuk menjemputmu..!” ujar sosok itu setelah berada di depan Tira.
Tira merasa tak perlu menjawab perkataan Hardi, pamannya yang saat ini masih duduk di bangku kuliah semester lima. Tira hanya menatap sekilas kemudian melenggang pergi. Om Hardi mengikuti dari arah belakang. Hujan semakin deras ketika Tira berdiri di pos satpam tak jauh dari gerbang sekolah. Ia mau tak mau harus menunggu hujan reda daripada pulang dengan basah kuyup.
“Sampai kapan kamu terus bertingkah seperti anak kecil?”Hardi membuka pembicaraan karena sedari tadi Tira tak membuka mulut sepatah katapun.
Tira menatap pamannya tajam. “Sikap sedewasa apa yang kalian harapkan dari anak perempuan berusia 15 tahun?” Tira balik bertanya.
Hardi tersenyum hambar mendengar perkataan keponakannya. “Kamu gak bisa menyalahkan kedua orangtua kamu, Ra..! satu hal yang harus kamu tahu, kebahagiaan tidak berasal dari bagaimana kondisi di sekitar kita, tapi bagaimana kita selalu berpikir positif setidak menyenangkan apapun keadaan di sekeliling kita..”
Hening.
Hardi tak lepas memandang keponakannya, “kebersamaan itu memang indah, tapi adakalanya perpisahan akan lebih baik daripada bersama dan saling menyakiti. Suatu hari, bila kamu dewasa, kamu akan mengerti mengapa kedua orang tuamu memilih berpisah.”
Tira mendongak seolah meminta sebuah keyakinan pada pamannya. “Aku sayang Ibu dan Ayah..”ucap Tira nyaris tak terdengar.
Hardi melangkah lebih dekat pada Tira, lalu mengelus lembut kepalanya. “Mereka jauh menyayangi kamu, Ra! Kamu percaya, Om kan?”
Tira mengangguk pelan. Air mata kembali merembes membasahi pipinya. Matanya tak lepas memandang deras air yang mengalir di selokan yang berada tepat di depan pos satpam. Tira tetap tak mengerti mengapa kedua orangtuanya memilih bercerai.
“Om..?”lirih Tira parau
“Mmm..”
“Bukankah air di bumi ini ada pada jumlah yang tetap?”
Hardi berpikir sejenak, “Iya,” jawabnya singkat.
“Kalau begitu aku ingin menjadi air saja..” balas Tira sambil terus memperhatikan tetes-tetes hujan yang jatuh ke selokan.
“Maksud kamu?”
“Air, selalu utuh. Dia mungkin tak pernah kehilangan, selalu dalam jumlah yang tetap. Air meski berubah ke dalam bentuk apapun, tapi selalu bersama, dia tak pernah merasa kehilangan. Aku harap keluargaku seperti itu..”
“Tapi air tak punya perasaan memiliki, Ra..”
Tira mendesah, “mungkin, tapi bersama tanpa rasa cinta masih lebih baik daripada terbunuh sepi sendiri. Aku gak pernah mau sendiri, Om! Hal yang paling aku takutkan adalah merasa kehilangan. Aku ingin jadi air, karena air tak pernah merasa kehilangan.” Tanpa menunggu respon Hardi, Tira berjalan menembus deras hujan sore itu, ia berharap hujan mampu menyublimasi dirinya menjadi tetes-tetes hujan. Meski jatuh dan terseok-seok, air tak pernah merasa kehilangan. Itulah yang diinginkan Tira, ia tak mau kehilangan apa yang telah dimilikinya. Keutuhan keluarga.

Tidak ada komentar: