Selamat Datang Pembaca

Tentang Mimpi dan Berbagi

26/11/11

Gunung Tangkuban Perahu : Sebuah Kisah Kasih Tak Sampai

Gunung Tangkuban Perahu adalah taman wisata alam populer di provinsi Jawa Barat, tepatnya berada di perbatasan Bandung dan Kabupaten Subang. Objek wisata yang satu ini tidak hanya terkenal karena keindahan panorama alamnya saja, tetapi (berdasarkan analisis pribadi) juga karena legenda rakyat yang melatarinya. Masyarakat Sunda tentu tidak akan asing lagi dengan kisah Sangkuriang dan Dayang Sumbi.

Legenda bermula saat Bunda Dayang Sumbi mengusir sang anak yang bernama Sangkuriang karena tega membunuhnya ayahnya sendiri yang merupakan seekor anjing bernama Tumang. Bertahun-tahun Ibu dan anak tersebut tidak saling bertemu. (Mungkin, kalau teknologi sudah canggih mereka akan saling bertukar kabar lewat BBM, J). Sangkuriang tumbuh menjadi pemuda tampan nan rupawan lagi gagah dan Dayang Sumbi sangat beruntung dikaruniai wajah yang tak kenal tua alias awet muda oleh Sang Hyang Widi.

Singkat cerita keduanya pun bertemu. Mereka yang tidak saling mengetahui asal-usul satu sama lain akhirnya saling menjatuhkan dan dijatuhi cinta. Sayang, suatu hari Dayang Sumbi akhirnya tahu bahwa pria yang dicintainya itu adalah darah dagingnya sendiri. Dayang Sumbi lalu menjadi ‘galau’, akhirnya dia mengajukan sebuah permintaan yang mustahil dapat dipenuhi oleh seorang manusia. Apakah itu? Ternyata pikiran Dayang Sumbi lebih ‘canggih’ dari cewek-cewek matre zaman sekarang. Dayang Sumbi meminta Sangkuriang untuk membendung sungai Citarum dengan tak lupa membuat perahu layar untuk mereka berlayar berbulan madu. Kesemua itu harus diselesai dalam waktu satu malam saja. Ajaib kan?

Sangkuriang, di tengah gelora cintanya pada Dayang Sumbi menyetujui permintaan tersebut. Meniru sebuah iklan minuman suplemen, LAKI? Pantang menyerah. Sangkuriangpun segera membuat perahu layar dibantu dengan tenaga kerja luar keluarga dari dunia jin. Menjelang dinihari pekerjaan Sangkuriang hampir rampung. Dayang Sumbi yang menyaksikan kejadian tersebut menjadi harap-harap cemas. Lalu diapun berdo’a dan Bim Salabim, dengan bantuan kain sakti yang dikebatkan sehingga tampak seperti siluet mentari pagi, Dayang Sumbi berhasil mengelabui Sangkuriang. Pendeknya Sangkuriang gagal memenuhi permintaan Dayang Sumbi, gagal juga memdapatkan cinta sang perempuan idaman.

Penuh dengan perasaan kesal, marah, kecewa Sangkuriangpun menendang perahunya yang hampir rampung tersebut (namun sayang, tendangan Sangkuriang masih terlalu melebar. lho??? J) dan tring, beratus-ratus tahun berlalu akhirnya perahu tersebut membentuk sebuah gunung yang kini kita kenal dengan sebutan gunung Tangkuban Perahu. (terbersit pikiran dalam benak saya, kalau saja sesudah ditendang perahunya masih pada posisi semula alias terlentang, mungkin sekarang nama gunungnya Nangkarak Perahu kali ya? Aduh, untung telungkup, kalau enggak, namanya gak asik banget. Gak ada nilai jual. he)

Ya begitulah legenda Tangkuban Perahu. Dari legenda itu saya belajar satu hal mengenai perilaku manusia dalam menghadapi cinta. Sejak dulu ternyata cinta selalu meminta perjuangan dan pengorbanan. Orang-orang yang tengah dipenuhi rasa cinta ternyata mampu melakukan apapun bahkan hal-hal yang diluar nalar manusia. Demi memperoleh cinta Dayang Sumbi, Sangkuriang bertindak affair dengan meminta bantuan lelembut untuk merancang sebuah perahu, (meskipun mungkin waktu itu memang sedang zamannya). Akan tetapi pada akhirnya, Sangkuriang tetap saja mengalami -sebagaimana yang digambarkan group band Padi- ‘Kasih Tak Sampai’.

Terlepas dari legenda yang berkembang di masyarakat, saya jauh lebih percaya bahwa gunung Tangkuban Perahu terbentuk akibat proses alam atas kehendak ALLAH SWT. Gunung Tangkuban Perahu adalah satu dari sekian milyar, triliyun bukti kekuasaan ALLAH. Pengalaman saya menjejakkan kaki di sana membuat saya sadar betapa kecilnya saya di jagad semesta ini. Hamparan gunung batu, udara yang sejuk dan dingin serta bau belerang dari kawah yang mengitari kawasan Tangkuban Perahu. Ehmm, saat saya memejamkan mata, sepertinya semua komponen tersebut ada dihadapan saya dan baru saja saya alami. Tiga buah batu saya kantongi saat pulang dari Tangkuban Perahu. Secarik kertaspun saya tinggalkan di salah satu sudut kawasan tersebut. Suatu hari nanti, saya akan kembali ke sana mengambil secarik kertas itu dan mengembalikan tiga buah batu yang pernah saya ambil. (moga kertasnya belum lecek, amin.)

Tangkuban Perahu,

Simpan separuh hati saya ya! Suatu hari nanti saya akan kembali menjejak tanahmu dengan mimpi yang telah menyata..

(Baru sempat saya tulis ide asing yang mengalir selama perjalanan ke Tangkuban Perahu 16 Oktober lalu.)

Tidak ada komentar: