Selamat Datang Pembaca

Tentang Mimpi dan Berbagi

27/12/11

Jam Tangan Untuk Bunda



Berulang kali ku pandangi jam tangan yang masih rapi terbungkus plastik di genggaman tanganku. Sebuah jam tangan berukuran kecil berwarna putih dengan tali terbuat dari logam. Kemarin sore aku membeli jam tangan itu. Rencananya aku ingin memberikan jam tangan itu sebagai hadiah untuk Ibu di hari Ibu hari ini, Tetapi sampai menjelang sore jam tangan itu belum juga berpindah tangan bahkan aku malah mengurung diri di kamar sambil terus memperhatikan jam tangan mungil itu.

Aku ragu-ragu, berkali-kali aku merutuki diriku sendiri. Bodoh, pikirku berkali-kali. Perasaanku tak karuan saat tahu aku akan memberikan hadiah pada Ibu. Aku bukan tipikal orang yang romantis. Aku jarang memberi hadiah pada siapapun, tapi bukan berarti aku pelit. Aku merasa aneh pada diriku sendiri karena hal-hal yang semacam ini  jarang sekali aku lakukan. Mengapa aku menjadi sangat romantis pada Ibu? Aku jadi membayangkan apa yang harus ku katakan pada Ibu saat aku memberikan jam tangan ini, bagaimana reaksi Ibu atas sikapku yang tiba-tiba mendadak aneh ini. Membayangkan semua itu malah membuat aku mulas.

Aku memang anak yang tertutup, jarang sekali mengungkapkan perasaan dan kata-kata sayang bahkan pada kedua orang tuaku sendiri. Bibirku selalu kelu untuk sekedar mengatakan Ibu aku mencintaimu, tanganku terlalu kaku untuk merangkul dan memeluk kedua orang tuaku, aku terlalu malu untuk mengecup kening kedua orang tuaku. Sebuah hal yang bagiku tampak kekanak-kanakan. Sampai aku duduk di bangku kelas dua SMA sekarang, aku semakin meyakini hal tersebut.

Terdengar ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Buru-buru ku sembunyikan jam tangan itu di balik bantal. Sebuah wajah teduh muncul di balik pintu kamarku.

“Putri Ibu yang cantik lagi apa?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Ibu, “lagi ngerem bu di kamar, siapa tahu bertelor emas,” jawabku asal.

Ibu balik tersenyum dan menghampiriku. Kedua tangannya tersembunyi di balik badan seperti sedang menyembunyikan sesuatu.  Ibu duduk di sampingku, lalu tangannya menyodorkan sebuah bungkusan plastik berwarna biru, “Ini buat Risma.” Kata Ibu.

Aku tertegun, perasaanku semakin campur aduk. Malu dan merasa didahului. Aku meraih bungkusan plastik tersebut tanpa sepatah kata.

“Kemarin temen Ibu bawa rok bagus-bagus, jadi inget kalo rok Risma udah pada jelek,” jelas Ibu.

Aku makin terharu, kembali disadarkan bahwa Ibu selalu berusaha memenuhi kebutuhanku meski aku sama sekali tak meminta. Kepalaku tertunduk, pipiku memanas.

“Risma gak suka modelnya?” tanya Ibu.

Aku menggeleng, seketika tanganku meraih sesuatu yang ku sembunyikan dibalik bantal. 
“Ini buat Ibu,” jawabku pelan menyodorkan jam tangan itu. 

Dari sudut mata, aku melihat Ibu mengerutkan kening lalu mengembangkan seulas senyum.“Kok pake beliin jam tangan segala buat Ibu?”

“Kan hari Ibu, Ris pengen ngasih sama Ibu. Bukannya jam tangan Ibu udah rusak ya?”

Ibu meletakkan kedua tangannya di pipiku, “putri Ibu, makasih ya..” ucapnya seraya mengecup kedua belah pipiku. 

Entah mengapa tiba-tiba aku merasa sangat bahagia. Senyum Ibu, ungkapan Ibu terasa lain saat ini, jauh lebih membahagiakan dan menenangkan. Aku tak mengira bahwa perasaannya akan sebahagia ini bila melihat wajah seorang Ibu menggurat senang oleh tindakan anaknya.

“Ibu udah masak makanan kesukaan kamu, makan yuk?” tanya Ibu kemudian.

Aku mengangguk, “iya, nanti Ris makan. Sekarang ngerjain tugas dulu, tanggung,”jawabku.

“Yaudah, makasih ya cantik. Padahal kalo Risma punya uang beliin aja keperluan Risma, gak usah repot-repot beliin Ibu. Risma kan belum kerja..” sahut Ibu kemudian berlalu di balik pintu.

Aku sama sekali tak punya sanggahan karena yang aku inginkan aku bisa memberikan kado pertamaku untuk Ibu. Di dalam hati, aku merasa ketagihan. Ketagihan melihat wajah sumringah Ibu, ketagihan melihat senyum Ibu, ketagihan mendapatkan cinta kasih dan pujiannya. Sesal rasanya mengapa tak sejak dulu saja aku memberi hadiah pada Ibu. Bahagia rasanya melihat Ibu tersenyum bahagia. Jauh lebih membahagiakan dari seluruh kesenangan di dunia ini. 

Ibu, pokoknya aku akan selalu ngasih hadiah ke Ibu, karena aku baru sadar kebahagiaanku sesungguhnya adalah melihatmu tersenyum, gumamku lalu kembali pada deretan tugas di buku sekolahku.

The End.

Tidak ada komentar: